mk
Dasar HukumUUD 1945Pasal 24 ayat (2)Pasal 24CPasal 7B UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
KEWENANGAN MK
-menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
-memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD
-memutus pembubaran partai politik, dan
-memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
KEWAJIBAN:
-memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar.
Hukum Acara MKDasar HukumUU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah KonstitusiPeraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara (PB) dalam Pengujian Undang-UndangPMK No 08/PMK/2006 ttg PB dlm SKLNPMK No 12/PMK/2008 ttg PB dlm Pembubaran ParpolPMK No 15/PMK/2008 ttg PB dlm PemilukadaPMK No 16/PMK/2009 ttg PB dlm Pemilu LegislatifPMK No 17/PMK/2009 ttg PB dlm PilpresPMK No 21/PMK/2009 ttg PB dlm Pelanggaran Presiden/Wapres
Alasan Pembentukan MK Apa alasannya sehingga kemudian MK disepakati untuk dibentuk di Indonesia? Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik7 , juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat. 6 Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. 7 Nilai semantik menunjukkan bahwa konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik 7 Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hakhaknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru8 menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya 8 Banyak undang-undang dinilai tidak sejalan dengan UUD 1945. Di antaranya undang-undang tentang perpajakan, haatzaai artikelen (delik penyebar kebencian) pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penyiaran, anggota DPR yang diangkat bukan dari pemilihan umum, hak interpelasi dan hak angket DPR. 8 suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama MK. Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami 9 pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
Latar belakang berdirinya mahkamah konstitusi
Membicarakan Mahkamah Konstitusi di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga Mahkamah Konstitusi. Empat momen dari jelajah historis yang patut dicermati antara lain kasus madison vs Marbury di Amerika Serikat, ide Hans Kelsen di Australia, gagasan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR dalam sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Sejarah judicial review muncul pertama kali di amerika serikat melalui putusan supreme court amerika serikat dalam perkara merbury vs madison pada 1803. Meskipun undang-undang Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review, supreme court membuat putusan yang mengejutkan chief justice john marsal didukung empat hakim agung lainya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang berwenang dengan konstitusi. Keberanian john marshall dalam kasus itu menjadikan preseden dalam sejarah amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum dibanyak negara. Semenjak itulah banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh supreme court.[2]
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar hukum public dan administrasi unifersity of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ jika selain badan legislative diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislative tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran kelsen mendorong vervassungs gericht soft di australia yang berdiri sendiri diluar mahakamah agung, inilah mahkamah konstitusi pertama.[3] Momen yang perlu dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI, Muhammad Yamin membahas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa dibidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu uji materiil terhadap undang-undang, Yamin mengusulkan perlunya mahkamah agung diberi wewenang untuk membanding undang-undang namun usulan yamin disanggah oleh supomo dengan empat alasan bahwa konsep dasar yang dianut dalam undang-undang dasar yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan melainkan konsep pembagian kekuasaan selain itu, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menguji undang-undang, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi majelis permusyawaratan rakyat dan sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki yang ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya ide itu urung di adopsi dalam UUD 1945.[4]
Gagasan Yamin muncul kembali dalam proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk mahkamah konstitusi mengemuka pada sidang kedua panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR) pada maret-april tahun 2000. mulanya Mahkamah Konstitusi akan ditempatkan dalam lingkungan MA , dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Usulan lainnya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk memberikan putusan atas persengketaan kewenangan atas persengketaan antar lembaga negara, antar pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang diberbagai negara serta dengan mendengarkan berbagai masukan dari berbagai pihak, terutama para pakar hukum tatanegara, rumusan mengenai pembentukan mahkamah konstitusi diakomodir dalam perubahan ketiga undang-undang dasar 1945. Hasil perubahan ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama mahkamah konstitusi dalam pasal 24 ayat 22 dan pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya perubahan ketiga UUD 1945 dalam pasal 24 ayat 2, pasal 24C dan pasal 7B pada 7 November 2001.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak- haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Ide demikian yang turut melandasi pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama Mahkamah Konstitusi. Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan Mahkamah Konstitusi didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden Mahagar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama kamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
KEWENANGAN MK
-menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
-memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD
-memutus pembubaran partai politik, dan
-memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
KEWAJIBAN:
-memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar.
Hukum Acara MKDasar HukumUU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah KonstitusiPeraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara (PB) dalam Pengujian Undang-UndangPMK No 08/PMK/2006 ttg PB dlm SKLNPMK No 12/PMK/2008 ttg PB dlm Pembubaran ParpolPMK No 15/PMK/2008 ttg PB dlm PemilukadaPMK No 16/PMK/2009 ttg PB dlm Pemilu LegislatifPMK No 17/PMK/2009 ttg PB dlm PilpresPMK No 21/PMK/2009 ttg PB dlm Pelanggaran Presiden/Wapres
Ada beberapa ahli ketatanegaraan yang menyatakan tentang pengertian konstitusi, yaitu sebagai berikut.
Herman Heller
Pengertian konstitusi menurut Herman Heller dibagi menjadi tiga.
1) Konstitusi yang mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Pengertian ini disebut pengertian secara sosiologis.
2) Konstitusi merupakan satu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Pengertian ini merupakan pengertian secara yuridis.
3) Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tinggi dan berlaku dalam suatu negara. Pengertian ini disebut pengertian secara politis.
K. C. Wheare
Pengertian konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
Pengertian konstitusi secara sempit adalah keseluruhan peraturan negara yang bersifat tertulis. Pengertian konstitusi secara luas adalah keseluruhan peraturan negara, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Konstitusi tertulis hanya mengatur dan mencakup hal-hal mengenai negara dalam garis besar atau pokok-pokoknya saja. Konstitusi yang tidak tertulis sering disebut konvensi, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis. Keberadaan konvensi itu menyempurnakan adanya konstitusi tertulis, dan menjadikan konstitusi suatu negara dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Konstitusi sebagai hukum dasar yang membentuk keseluruhan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara memiliki arti penting bagi negara. Oleh karena itu, semua negara-negara baru yang merdeka akan membuat konstitusi yang sebaik mungkin. Demikian halnya bangsa Indonesia juga menyusun konstitusi yang terbaik untuk bangsa Indonesia.
Konstitusi negara pada umumnya berisi tentang pembagian kekuasaan negara, hubungan antarlembaga negara, dan hubungan negara dengan warga negara.
http://www.sangkoeno.com/2016/01/pengertian-dan-pentingnya-konstitusi.html
Alasan Pembentukan MK Apa alasannya sehingga kemudian MK disepakati untuk dibentuk di Indonesia? Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik7 , juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat. 6 Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. 7 Nilai semantik menunjukkan bahwa konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik 7 Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hakhaknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru8 menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya 8 Banyak undang-undang dinilai tidak sejalan dengan UUD 1945. Di antaranya undang-undang tentang perpajakan, haatzaai artikelen (delik penyebar kebencian) pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penyiaran, anggota DPR yang diangkat bukan dari pemilihan umum, hak interpelasi dan hak angket DPR. 8 suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama MK. Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami 9 pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
Latar belakang berdirinya mahkamah konstitusi
Membicarakan Mahkamah Konstitusi di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga Mahkamah Konstitusi. Empat momen dari jelajah historis yang patut dicermati antara lain kasus madison vs Marbury di Amerika Serikat, ide Hans Kelsen di Australia, gagasan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR dalam sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Sejarah judicial review muncul pertama kali di amerika serikat melalui putusan supreme court amerika serikat dalam perkara merbury vs madison pada 1803. Meskipun undang-undang Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review, supreme court membuat putusan yang mengejutkan chief justice john marsal didukung empat hakim agung lainya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang berwenang dengan konstitusi. Keberanian john marshall dalam kasus itu menjadikan preseden dalam sejarah amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum dibanyak negara. Semenjak itulah banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh supreme court.[2]
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar hukum public dan administrasi unifersity of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ jika selain badan legislative diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislative tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran kelsen mendorong vervassungs gericht soft di australia yang berdiri sendiri diluar mahakamah agung, inilah mahkamah konstitusi pertama.[3] Momen yang perlu dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI, Muhammad Yamin membahas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa dibidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu uji materiil terhadap undang-undang, Yamin mengusulkan perlunya mahkamah agung diberi wewenang untuk membanding undang-undang namun usulan yamin disanggah oleh supomo dengan empat alasan bahwa konsep dasar yang dianut dalam undang-undang dasar yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan melainkan konsep pembagian kekuasaan selain itu, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menguji undang-undang, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi majelis permusyawaratan rakyat dan sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki yang ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya ide itu urung di adopsi dalam UUD 1945.[4]
Gagasan Yamin muncul kembali dalam proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk mahkamah konstitusi mengemuka pada sidang kedua panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR) pada maret-april tahun 2000. mulanya Mahkamah Konstitusi akan ditempatkan dalam lingkungan MA , dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Usulan lainnya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk memberikan putusan atas persengketaan kewenangan atas persengketaan antar lembaga negara, antar pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang diberbagai negara serta dengan mendengarkan berbagai masukan dari berbagai pihak, terutama para pakar hukum tatanegara, rumusan mengenai pembentukan mahkamah konstitusi diakomodir dalam perubahan ketiga undang-undang dasar 1945. Hasil perubahan ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama mahkamah konstitusi dalam pasal 24 ayat 22 dan pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya perubahan ketiga UUD 1945 dalam pasal 24 ayat 2, pasal 24C dan pasal 7B pada 7 November 2001.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak- haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Ide demikian yang turut melandasi pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama Mahkamah Konstitusi. Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan Mahkamah Konstitusi didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden Mahagar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama kamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
Comments
Post a Comment